BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asdak
dan Salim (2006) menyatakan bahwa Air merupakan kebutuhan pokok bagi makhluk
hidup, Untuk menjamin keberlangsungan kehidupan di bumi, makhluk hidup baik
manusia, hewan dan tumbuhan mutlak membutuhkan air sebagai kebutuhan primernya.
Tidak ada kehidupan makhluk yang tidak terkait langsung atau tidak langsung
dengan sumberdaya air. Tanpa air, mikroorganisme yang mendekomposisi bahan
organik tidak akan pernah ada, demikian pula tidak akan pernah ada siklus
materi dan energi, dengan demikian tanpa air tidak akan pernah ada kompleksitas
ekosistem. Sehingga dapat dipastikan bahwa jika tidak ada air, maka kehidupan
diatas permukaan bumi ini akan terancam kepunahan.
Dewasa ini
ketersediaan air menjadi permasalahan, Dewan Air Dunia (WWC) menyebutkan bahwa
20 tahun mendatang jumlah penduduk dunia akan meningkat dengan pertambahan
penduduk sebesar 1,2 miliar jiwa, sedangkan persediaan air diprediksikan justru
akan menurun hingga sepertiga dari sekarang. Artinya, dengan jumlah penduduk
dunia yang semakin bertambah, mungkin hanya akan dapat menikmati 30% suplai air
dari yang dapat mereka nikmati sekarang (Rusdiana dan Ghufrona, 2011).
Keterangan
tersebut dilengkapi dengan penelitian Waryono (2003), yang
mengungkapkan bahwa hampir semua
sungai di Jawa (diantaranya Sungai Ciujung, Ciliwung, Cimanuk, Citanduy,
Serayu, Progo, Bengawan Solo, dan Brantas) kering pada musim kemarau. Namun
sebaliknya pada musim penghujan terjadi kelebihan air yang mengalir, bahkan
banjir melebihi kemampuan sungai dalam menampung aliran, khususnya di
muara-muara sungai.
Penelusuran
terhadap peran fungsi kawasan resapan menjadi sangat strategis untuk diungkap
dan diteliti lebih jauh dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya air
secara terpadu dan berkelanjutan. Sehingga perlu adanya upaya konservasi air
dengan melakukan upaya pengaturan tata air. Salah satu upaya konservasi air
adalah dengan mengoptimalkan infiltrasi air hujan ke dalam tanah (Waryono,
2003).
Infiltrasi
dapat diartikan sebagai proses aliran air (umumnya
berasal dari curah hujan) masuk kedalam tanah.
Perkolasi merupakan proses kelanjutan aliran air yang berasal dari infiltrasi
ke tanah yang lebih dalam. Kebalikan dari
infiltrasi adalah rembesan (speege). Laju maksimal
gerakan air masuk kedalam tanah dinamakan kapasitas infiltrasi. Kapasitas
infiltrasi terjadi ketika intensitas hujan melebihi
kemampuan tanah dalam menyerap kelembaban
tanah. Sebaliknya apabila intensitas hujan lebih kecil dari pada kapasitas
infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan laju
curah hujan (Waryono, 2003).
Salah satu
upaya untuk melakukan konservasi air adalah, dengan mengatur pemakaian sumber
daya air terlebih khusus bagi dunia pertanian baik di lahan sawah ataupun lahan
kering. Untuk lahan sawah, banyak dijumpai
banyak pemborosan air yang dilakukan oleh petani yang tidak menyadari bahwa
perbuatan mereka akan berdampak pada menurunnya persediaan air di masa depan (Waryono,
2003).
1.2 Tujuan Praktikum
1.
Untuk
menentukan nilai parameter infiltrasi : fo, fc. dan K
2.
Unuk
menetapkan persamaan penduga dan membuat kurva infiltrasi model horton.
3.
Untuk
menghitung volume infiltrasi total selama waktu (t) tertentu.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
2.1 Siklus Hidrologi
Kodoati
dan Rustam (2008) menyatakan bahwa siklus hidrologi adalah pergerakan air di bumi berupa
cair, gas, dan padat baik proses di atmosfir, tanah dan badan-badan airyang
tidak terputus melalui proses kondensasi, presipitasi, evaporasi dan
transpirasi.Pemanasan air samudera oleh sinar matahari merupakan kunci proses
siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu. Air berevaporasi,
kemudian jatuh sebagai presipitasi dalambentuk air, es,atau kabut. Pada perjalanan
menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas atau langsung
jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah. Setelah
mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara yang berbeda:
·
Evaporasi /
transpirasi Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman, dsb.
kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan.
Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang
selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es.
·
Infiltrasi /
Perkolasi ke dalam tanah Air bergerak ke dalam tanah melalui celah-celah dan
pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak akibat
aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah
permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.
·
Air
Permukaan - Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan
danau; makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran
permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada
daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai utama
yang membawa seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju laut.
Gambar 1. Siklus Hidrologi
2.2 Presipitasi
Presipitasi adalah curahan atau jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan
bumi dan laut dalam bentuk yang berbeda, yaitu curah hujan di daerah tropis dan
curah hujan serta salju di daerah beriklim sedang
(Siswanto, 2003).
Presipitasi adalah peristiwa klimatik yang bersifat alamiah yaitu
perubahan bentuk uap air di atmosfer menjadi curah hujan sebagai akibat proses
kondensasi. Presipitasi merupakan factor utama yang mengendalikan proses daur
hidrologi di suatu wilayah DAS ( merupakan elemen utama yang perlu diketahui
medasari pemahaman tentang kelembaban tanah, proses resapan air tanah dan debit
aliran ) (Sudarsono, 2006).
Presipitasi mempunyai banyak karakteristik yang dapat mempengaruhi
produk air suatu hasil perencanaan pengelolaan DAS. Besar kecilnya presipitasi,
waktu berlangsungnya hujan dan ukuran serta intensitas hujan yang terjadi baik
secara sendiri-sendiri atau merupakan kombinasi akan mempengaruhi kegiatan
pembangunan ( proyek ). Jumlah presipitasi selalu dinyatakan
dengan dalamnya presipitasi (mm). salju, es, hujan dan lain-lain juga
dinyatakan dengan dalamnya (seperti hujan) sesudah di cairkan (Sudarsono, 2006).
2.3. Infiltrasi
Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah
hujan) masuk kedalam tanah. Perkolasi merupakan proses kelanjutan aliran air
yang berasal dari infiltrasi ke tanah yang lebih dalam. Kebalikan dari
infiltrasi adalah rembesan (speege). Laju maksimal gerakan air masuk kedalam
tanah dinamakan kapasitas infiltrasi. Kapasitas infiltrasi terjadi ketika
intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam menyerap kelembaban tanah.
Sebaliknya apabila intensitas hujan lebih kecil dari pada kapasitas infiltrasi,
maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan (Waryono, 2003).
infiltrasi merupakan aliran air ke dalam tanah melalui permukaan tanah.
Didalam infiltrasi dikenal dua istilah yaitu kapasitas infiltrasi dan laju
infiltrasi, yang dinyatakan dalam mm/jam (Saribun, 2007).
Hanafiah
(2005) menyatakan bahwa klasifikasi laju infiltrasi di bagi menjadi beberapa
bagian, sebagai berikut:
Tabel 6. Kriteria laju infiltrasi konstan
Kls
|
Kategori
Infiltrasi
|
Laju
Infiltrasi
Konstan
(mm/jam)
|
Keterangan
|
1
2
3
4
5
6
7
|
Sangat lambat
Lambat
Agak lambat
Sedang
Agak cepat
Cepat
Sangat cepat
|
<1
1-5
5-20
20-60
60-125
125-250
> 250
|
Non
irigasi
Perlakuan
khusus
|
2.4 Faktor
Yang Mempengaruhi Infiltrasi
Suryatmojo (2006) menjelaskan bahwa infiltrasi di pengaruhi olehbeberapa
hal, antara lain:
·
Tekstur Tanah
Tekstur tanah menunjukkan perbandingan butir-butir pasir ( 2 mm–50
µ), debu (50-2µ), dan liat (<2µ) di dalam tanah. Kelas tekstur tanah dibagi
dalam 12 kelas yaitu: pasir, pasir berlempung, lempung berpasir, lempung,
lempung berdebu, debu, lempung liat, lempung liat berpasir, lempung liat
berdebu, liat berpasir, liat berdebu, liat.
Berdasarkan ukurannya, bahan padatan tanah digolongkan menjadi
tiga partikel atau juga disebut sebagai separat penyusun tanah yaitu pasir,
debu, dan liat. Tanah berpasir yaitu tanah dengan kandungan pasir > 70 %,
porositasnya rendah (< 40 %), sebagian besar ruang pori berukuran besar,
sehingga aerasenya baik, daya hantar air cepat tetapi kemampuan menahan air dan
zat hara rendah. Tanah disebut bertekstur liat jika kandungan liatnya > 35
%, porositasnya relatif tinggi (60 %), tetapi sebagian besar merupakan pori berukuran kecil, daya hantar air sangat
lambat dan sirkulasi udara kurang lancar. Pada tekstur tanah pasir , laju
infiltrasi akan sangat cepat, pada tekstur lempung laju infiltrasi adalah
sedang hingga cepat dan pada tekstur liat laju infiltrasi tanah akan lambat.
·
Struktur Tanah
Struktur tanah adalah susunan agregat-agregat primer tanah secara
alami menjadi bentuk tertentu yang dibatasi oleh bidang-bidang. Struktur tanah
dapat dinilai dari stabilitas agregat, kerapatan lindak, dan porositas tanah.
Struktur tanah ditentukan oleh tiga group yaitu mineral-mineral liat,
oksida-oksida besi, dan mangan, serta
bahan organik koloidal gum yang dihasilkan oleh jasad renik.
Bentuk struktur tanah yang membulat (granular dan remah)
menghasilkan tanah dengan daya serap tinggi sehingga air mudah meresap kedalam
tanah. Struktur tanah remah (tidak mantap), sangat mudah hancur oleh pukulan
air hujan menjadi butir-butir halus, sehingga menutup pori-pori tanah. Akibatnya
air infiltrasi terhambat dan aliran permukaan meningkat.
·
Berat Isi (Bulk
Density)
Semakin tinggi kepadatan tanah, maka infiltrasi akan semakin
kecil. Kepadatan tanah ini dapat disebabkan oleh adanya pengaruh
benturan-benturan hujan pada permukaan tanah. Tanah yang ditutupi oleh tanaman
biasanya mempunyai laju infiltrasi lebih besar dari pada permukaan tanah yang
terbuka. Hail ini disebabkan oleh perakaran tanaman yang menyebabkan porositas
tanah lebih tinggi, sehingga air lebih banyak dan meningkat pada permukaan yang
tertutupi oleh vegetasi, dapat menyerap energi tumbuk hujan dan sehingga mampu
mempertahankan laju infiltrasi yang tinggi.
Kerapatan isi adalah berat persatuan volume tanah kering oven,
biasanya ditetapkan sebagai g / m3. Contoh tanah yang ditetapkan untuk
menentukan beratjenis palsu harus diambil secara hati-hati dari dalam tanah,
tidak boleh merusak struktur asli tanah. Terganggunya struktur tanah dapat
mempengaruhi pori-por tanah, demikian pula berat persatuan volume. Empat atau
lebih bongkah (gumpal) tanah biasanya diambil dari tiap horizon untuk
memperoleh nilai rata-rata.
·
Bahan Organik Tanah
Bahan organik tanah merupakan penimbunan, terdiri sebagian dari
sisa dan sebagian dari pembentukan dari sisa tumbuahan dan hewan. Bahan organik
yang dikandung oleh tanah hanya sedikit, kurang lebih hanya 3 % sampai 5 % dari
berat tanah dari topsoil tanah mineral yang mewakili. Bahan organik berperan
sebagai pembentuk butir (granulator) dari butir-butir mineral yang menyebabkan.
Terjadinya keadaan gembur pada tanah produktif. Bahan ini biasanya berwarna hitam
atau coklat bersifat koloida. Daya menahan air dan ion-ion hara jauh lebih besar
dari pada lempung.
2.5 Lahan Kering
Lahan kering adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan
air, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau
air irigasi. Tipologi lahan ini dapat dijumpai dari dataran rendah (0-700 m
dpl) hingga dataran tinggi (> 700m dpl). Dari pengertian diatas, maka jenis
penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok lahan kering mencakup: lahan
tadah hujan, tegalan, lading, kebun campuran, perkebunan, hutan, semak, padang
rumput, dan padang alang-alang (Suwardji, 2003).
Lahan kering mempunyai potensi yang cukup luas untuk dikembangkan,
dengan luas yang mencapai 52,5 juta ha, untuk seluruh indonesia maka
pengembangan sangat perlu dilakukan. Penggunaan lahan untuk lahan kering
berturut adalah sebagai berikut: hutan rakyat, perkebunan, tegalan, tanah yang
sedang tidak diusahakan, ladang dan padang rumput (Soemarno, 2011).
Pemanfaatan lahan kering untuk kepentingan pembangunan daerah ternyata
banyak menghadapi masalah dan kendala. Masalah yang utama adalah masalah fisik
lahan kering banyak yang telah rusak atau mempunyai potensi yang cukup besar
untuk menjadi rusak. Sehingga paket teknologi yang berorientasi pada
perlindungan lahan kering sangat diperlukan. Kekurangan air pada saat musim
kemarau, kahat unsur hara serta keadaan tanah yang peka terhadap erosi
merupakan kendala lingkungan yang paling dominan di kawasan lahan kering
(Soemarno, 2011).
2.6 Lahan Sawah
Lahan
basah merupakan areal
transisi antara lahan kering dan wilayah perairan sepertidanau, rawa, paya,
sungai dan pantai. Tidak semua lahan basah yangselalu berair atau tergenang
sepanjang tahun. Peran yang dari lahan basah dalam pengelolaan DAS sangat penting yakni, melindungi
kualitas air dan kuantitasnya dalamjumlah yang cukup. Perannya dilihat dari
kuantitas yang cukup danseimbang yaitu, wetlands dapat diibaratkan sebagai
spoon (busa)raksasa, yakni pada musim hujan, dia akan menyerap air dan jika
terjadikelebihan maka air tersebut akan dialirkan menjadi air tanah (Groundwater).
Pada musim kering air dari wetlands akan dikeluarkan untukdimanfaatkan (Niko, 2012).
Priambodo (2014) ada
empat manfaat dari lahan basah dalam
rangka pengelolaan DAS yaitu ;
ü
Memperbaiki
kualitas air, dengan cara menahan unsur hara,sampah-sampah organik dan kiriman
endapan yang terjadi akibat run off.
ü
Mengurangi
pengaruh buruk banjir, yang langsung ke muaradengan menahan air tersebut dan
melepaskannya pada musim kering.
ü
Melindungi
daerah-daerah pinggiran atau pesisir dari kemungkinanerosi.
ü
Memulihkan
kembali persediaan air tanah yang berpotensikekurangan air pada musim kering.
2.7.
Model Horton
Pada metode infiltrasi Horton, yang pertama kali dilakukan
adalah menentukkan parameter-parameternya. Metode infiltrasi Horton mempunyai
tiga paremeter yang menentukan proses infiltrasi dalam tanah yaitu parameter K,
infiltrasi awal (fo) dan infiltrasi konstan (fc). Nilai parameter fc ini bisa
diprediksi dari nilai Konduktivitas Hidrolik Jenuh. Setelah diketahuiparameter
yang digunakan dalam metode infiltrasi Horton, maka laju infiltrasi untuk
berbagai waktu t dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
f = fc + (fo-fc)
Untuk
mengetahui apakah metode infiltrasi yang digunakan benar-benarmewakili daerah
yang diteliti, maka dicari persentase penyimpangan antara laju infiltrasi
perhitungan metode infiltrasi dengan hasil pengukuran infiltrasi di lapangan
dan dilanjutkan dengan uji t (Wirosoedarmo, 2008).
2.8. Tanaman Padi Dan Tanaman Ubi Kayu
2.8.1 Tanaman padi
Susanti (2010) menyatakan
bahwa Padi termasuk genus Oryza L yang
meliputi lebih kurang 25 spesies, tersebar didaerah tropik dan daerah sub
tropik seperti Asia, Afrika, Amerika dan Australia. Menurut Chevalier dan
Neguier padi berasal dari dua benua Oryza fatua Koenig dan Oryza sativa L berasal dari benua Asia, sedangkan jenis padi lainya
yaitu Oryza stapfii Roschev dan Oryza glaberima Steund berasal dari
Afrika barat. Padi yang ada sekarang ini merupakan persilangan
antara Oryza officinalis dan Oryza sativa f spontania. Di Indonesia
pada mulanya tanaman padi diusahakan didaerah tanah kering dengan sistim
ladang, akhirnya orang berusaha memantapkan basil usahanya dengan cara
mengairi daerah yang curah hujannya kurang. Tanaman padi yang dapat tumbuh
dengan baik didaerah tropis ialah Indica, sedangkan Japonica banyak diusakan
didaerah sub tropika. Adapun Klasifikasi
Tanaman Padi adalah sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
(Tumbuhan)
Sub kingdom : Tracheobionta
(Tumbuhan berpembuluh)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Sub Divisi : Spermatophyta
(Menghasilkan biji)
Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas : Commelinidae
Ordo : Poales
Famili : Gramineae
(suku rumput-rumputan)
Spesies : Oryza sativa L.
2.8.2
Tanaman Ubi Kayu
Tanaman singkong merupakan tanaman yang
memerlukan Curah hujan yang sesuai, curah hujan yang sesuai untuk tanaman ketela
pohon antara 1.500-2.500 mm/tahun. Suhu udara minimal bagi tumbuhnya ketela kohon sekitar 10O C. Bila
suhunya di bawah 10O C
menyebabkan pertumbuhan tanaman sedikit terhambat, menjadi kerdil karena pertumbuhan
bunga yang kurang sempurna. Kelembaban udara optimal
untuk tanaman ketela pohon antara 60-65%. Sinar matahari yang dibutuhkan bagi
tanaman ketela pohon sekitar 10 jam/hari terutama untuk kesuburan daun dan perkembangan umbinya (Susanti, 2010).
Tanah
yang paling sesuai untuk ketela pohon adalah tanah yang berstruktur remah,
gembur, tidak terlalu liat dan tidak terlalu poros serta kaya bahan organik.
Tanah dengan struktur remah mempunyai tata udara yang baik, unsur hara lebih
mudah tersedia dan mudah diolah. Untuk pertumbuhan tanaman ketela pohon yang
lebih baik, tanah harus subur dan kaya bahan organik baik unsur makro maupun
mikronya. Jenis tanah yang sesuai untuk tanaman ketela pohon adalah jenis
aluvial latosol, podsolik merah kuning, mediteran, grumosol dan andosol.
Derajat keasaman (pH) tanah yang sesuai untuk budidaya ketela pohon berkisar
antara 4,5-8,0 dengan pH ideal 5,8. Pada umumnya tanah di Indonesia ber-pH
rendah (asam), yaitu berkisar 4,0-5,5, sehingga seringkali dikatakan cukup
netral bagi suburnya tanaman ketela pohon (Susanti, 2010)..
BAB III
METEDOLOGI PRAKTIKUM
3.1. Waktu
Dan Tempat
Praktikum Infiltrasi menurut model Horton ini telah dilaksanakan pada hari sabtu dan Minggu tanggal 14-15 Mei 2014 di desa Krato dan Desa Pelat Kecamatan Untir Iwis, Kabupaten Sumbawa.
3.2. Alat
Dan Bahan
Ø
Alat
ü
Double ring infiltrometer
ü
Alat
pengukur waktu/ stopwatch
ü
Alat
pengukur tinggi/meteran
ü
Buku
ü
Polpen
ü
Kayu
Ø
Bahan
ü
Air
ü
Tanah
3.3.
Metode Pengambilan Sampel
Skema cincin infiltrometer yang
terpasang dengan prosedur pemasangannya menikuti langkah-langkah berikut :
1. Letakkan
salh satu cincin dengan ujung runcing dibagian bawah dan pastikan penampang
cincin pada level datar.
2. Pasang
piringan tutup diatas cincin dan pastikan tepat di atas cincin. Pukul tutup
cincin dengan martil sampai kedalaman tertentu sehingga dapat mencengah
kebocoran air ke luar cincin. Kedalaman sekitar 15 cm umumnya dianggap cukup
atau sampai air tidak dapat bocor. Gunakan pukulan secukupnya untuk menghindari
pecahnya permukaan tanah. Jika cincin sudah menancap, lepaskan piringan tutup.
3. Letakkan
cincin silinder lainnya secara tepat pada pusat yang sama dengan cincin
pertama, kemudian lakukan seperti langka 2.
4. Usahakan
cincin silinder tetap tegak dengan level penampang datar. Jika setelah
ditancapkan keadaan cincin miring, cincin yang telah terpasang cabut dari
tanah. Pindahkan ke tempat sekitarnya dan ulangi lanhkah-langkah pemasangannya.
5. Jika
setelah ditancapkan cincin infiltrometer berubah bentuk, cabut cincin
infiltrometer dari tanah, lakukan kalibrasi, dan ulangi langkah-langkah
pemasangannya.
6. Setelah
pengukuran selesai keluarkan cincin dari tanah dengan memukul bagian samping
secara perlahan dan menggali sekeliling cincin dengan sekop atau linggis.
3.3.1.
Metode Pengukuran Infiltrasi (Double Ring Infiltrometer)
Ø Pengukuran Volume
Pengukuran laju infiltrasi berdasarkan volume air
dilakukan dengan mengukur volume air yang ditambahkan tiap selang waktu.
Pengukuran volume dapat dilakukan menggunakan gelas ukur, tabung mariotte, atau
silinder trasparan berskala. Pengukuran laju infiltrasi berdasarkan volume air
mengikuti langkah-langkah berikut :
1. Catat
posisi waktu pada saat mulai pengukuran pada t = 0, dan isikan pada kolom 1
formulir pengukuran infiltrasi cincin ganda.
2. Ukur
volume air yang ditambahkan pada cincin dalam untuk menjaga tinggi muka air
pada tiap selang waktu. Catat pada formulir pengukuran kolom ke 4.
3. Ukur
volume air yang ditambahkan pada ruang antar cincin untuk menjaga tinggi muka
air pada tiap selang waktu. Catat pada formulir pengukuran kolom ke 5.
4. Catat
waktu sejak mulai pengukuran (t = 0) pada formulir pengukuran kolom ke 2, dan
beda waktu antar pengukuran pada kolom 3. Selang waktu ditentukan, umumnya tiap
satu menit pada 10 menit pertama, tiap 2 menit pada menit ke 10 sampai dengan
menit ke 30, tiap 5 menit sampai dengan 10 menit pada menit ke 30 sampai dengan
menit 60. Selanjutnya, tiap 15 sampai dengan 30 menit sampai diperoleh laju
yang relatif konstan. Selang waktu ditentukan juga berdasarkan laju infiltrasi
yang terukur atau berdasarka pengalaman lapangan pelaksana pengukuran.
5. Bagian
atas cincin ditutup untuk menghindari penguapan selama selang pengukuran.
6. Hitung
nilai f dari data volume air yang ditambahkan pada cincin infiltrometer tiap
selang waktu pengukuran menjadi laju infiltrasi dengan persamaan.
f = (1)
dengan :
f adalah
laju infiltrasi (cm/jam)
adalah volume air yang ditambahkan
pada cincin infiltrometer untuk menjaga muka air tiap selang waktu (cm2)
Ac adalah luas bidang cincin dalam
satu bidang antar cincin (cm2)
adalah selang waktu pengukuran
(menit)
7. Catat
hasil penghitungan laju infiltrasi dari cincin dalam pada formulir pengukuran
kolom 8 dan laju infiltrasi dari ruang antar cincin pada formulir pengukuran
kolom 9.
8. Plot
pada kertas grafik antar t dari formulir pengukuran kolom 2 sebagai sumbu x dan
laju infiltrasi dari formulir pengukuran kolom 8 dan kolom 9 sebagai sumbu y.
3.3.2.
Metode Pengambilan Contoh Tanah
Pengambilan contoh tanah dimaksud
untuk memperoleh data karakteristik tanah yang tidak dapat diperoleh langsung
dari pengamatan lapangan.
3.3.2.1 Pengambilan
Contoh Tanah Utuh
Contoh Tanah Utuh (undisturbed
soil sample) untuk penetapan bobot isi (bulk density), susunan pori tanah, pF,
dan permeabilitas tanah.
Cara kerja dari pengambilan
contoh tanah utuh yaitu :
1. Ratakan
dan bersihkan lapisan permikaan tanah yang akan diambil contoh tanahnya.
2. Kemudian
cangkul tanah tesebut dengan menggunakan cangkul, biarkan tanah hasil cangkulan
dalam bentuk bongkahan yang utuh.
3. Ambillah
bongkahan yang masih utuh, kemudian bersihkan dengan menggunaka kuas.
4. Bongkahan
yang telah dibersihkan selanjutnya dimasukkan kedalam kantong plastik dan ikat
kantong plastik menggunakan karet tali.
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
4.1.
Tekstur dan Struktur Tanah
Tabel
1. Hasil analisis tekstur tanah
Titik Sampel
|
Persentase
|
Tekstur
|
Berat Isi
|
||
Pasir
|
Debu
|
Liat
|
|||
LS
1
|
15
%
|
25%
|
70%
|
Liat
|
0,04
|
LS
2
|
25%
|
10%
|
65%
|
||
LK
1
|
15%
|
60%
|
25%
|
Lempung
Berdebu
|
0,05
|
LS
2
|
25%
|
75%
|
10%
|
Tekstur
tanah yang menjadi sampel pada lahan sawah dan lahan kering memiliki beberapa
perbedaan, pada lahan sawak
bertekstur liat dengan proporsi 15% pasir, 25% debu dan 70% liat untuk titik
sampel pertama. Untuk titik sampel kedua pada lahan sawah memiliki proporsi 25%
pasir, 10% debu dan 65% liat.
Untuk
contoh tanah pada lahan kering memiliki tekstur lempung berdebu, pada titik sampel pertama memiliki proporsi
15% pasir, 60% debu dan 25% liat dan pada titik sampel kedua memiliki proporsi
25% pasir, 65% debu dan 10% liat. Untuk nilai berat isi masing-masing lahan
adalah 0,04 untuk contoh tanah lahan sawah dan 0,05 pada lahan kering.
Struktur
tanah yang dimiliki oleh 2 sampel sangat berbeda, pada lahan sawah memiliki
struktur Liat memiliki
pori-pori yang besar sehingga air dapat bergerak lebih cepat yang dapat
menyebabkan laju infiltrasi cepat. Sedangkan pada lahan kering memiliki
struktur Lempung berdebu memiliki
pori-pori yang kecil sehingga
air bergerak lebih lambat yang
dapat menyebabkan laju infiltrasi lambat.
4.2 Laju
infiltrasi
Tabel
2. Rata-Rata Parameter Pengukuran Laju Infiltrasi
Titik Sampel
|
Parameter
|
|||
Fo
|
Fc
|
T
|
K
|
|
LS
|
168,5
|
157,5
|
138,15
|
3,83
|
LK
|
705,5
|
231,5
|
4,5
|
1,525
|
Tabel 3. Rata—rata
pengukuran lapangan dan pendugaan laju infiltrasi menggunakan model Horton.
Titik Sampel
|
Besar laju infiltrasi (cm/jam)
|
Volume (cm3)
|
Klasifikasi infiltrasi
|
|
Observasi lapangan
|
Model
horton
|
|
|
|
LS
|
169,5
|
230,13
|
186,44
|
Cepat
|
LK
|
705,5
|
743,25
|
594,255
|
Sangat Cepat
|
Berdasarkan
hasil praktikum diatas (Tabel
2) maka nilai
rata-rata parameter pengukuran laju infiltrasi pada titik sampel lahan sawah
(LS) dengan fo 168,5 mm/jam, fc 157,5, t 138,15 jam, K 3,83, sedangkan pada
titik sampel lahan kering (LK) dengan fo 705,5 mm/jam, fc 231,5, t 4,5 jam, dan
K 1,525.
Berdasarkan
hasil praktikum diatas (Tabel
3) maka nilai Rata-rata
hasil pengukuran lapangan dan pendugaan laju infiltrasi menggunakan model
Horton pada titik sampel lahan sawah (LS) berat laju infiltrasi pada observasi
lapangan 169,5 cm/jam, sedangkan pada model Horton 230,13 cm/jam, volume 186,44
cm3, pada fase 2 sehingga klasifikasi laju infiltrasinya lambat. Pada titik
sampel lahan kering (LK) berat laju infiltrasi pada observasi lapangan 705,5
cm/jam, sedangkan pada model Horton 743,25 cm/jam, volume 594,255 cm3, pada
fase 1 sehingga klasifikasi laju infiltrasinya cepat.
Perbedaan
nilai laju infiltrasi yang terjadi disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
·
Berat
isi
Berat
isi diartikan sebagai kepadatan tanah, hal ini dapat menentukan laju infiltrasi
yang terjadi, Nilai infiltrasi pada lahan sawah memiliki nilai yang lebih
rendah daripada lahan kering karna beberapa perlakuan seperti pembajakan dan
penggunaan pestisida pada lahan sawah dapat meningkatkan kepadatan tanah yang
berdampak pada menurunnya nilai laju infiltrasi yang terjadi. Hal ini sesuai
dengan pendapat Suryatmojo (2006) yang menyatakan bahwa berat isi dapat
menentukan nilai laju infiltrasi.
·
Tekstur
dan struktur tanah
Jika
dilihat dari hasil pengamatan di lapangan, tekstur dan struktur pada lahan
kering dan basah sangat berbeda. Pada lahan sawah memiliki tekstur lempung
berdebu dengan pori-pori besar dan pada lahan sawah memiliki tekstur liat
dengan pori-pori kecil. Hal ini dapat menentukan laju infiltrasi karna semakin
besar pori-pori tanah maka akan semakin cepat laju infiltrasi yang terjadi. Hal
ini di dukung oleh pendapat Suryatmojo (2006) yang menyatakan bahwa tekstur dan
struktur tanah dapat mempengaruhi laju infiltrasi.
Struktur tanah yang dimiliki oleh 2
sampel sangat berbeda, pada lahan sawah memiliki struktur Liat
memiliki pori-pori yang
besar sehingga air dapat bergerak lebih cepat yang dapat menyebabkan laju
infiltrasi cepat. Sedangkan pada lahan kering memiliki struktur Lempung
berdebu memiliki
pori-pori yang kecil sehingga
air bergerak lebih lambat yang
dapat menyebabkan laju infiltrasi lambat.
4.2.
Kurva
Infiltrasi
Kurva kafasitas infiltrasi merupakan kurva hubungan
antara infiltrability dan waktu. Infiltrabilitas tunak (stedy state) tercapai saat infiltrasi konstan (fc) menunjukkan
banyaknya air yang dapat terinfiltrasi ke dalam tanah per satuan waktu.
Kurva Infiltrasi Lahan Basah Blok
1
Kurva Infiltrasi Lahan Basah Blok
2
Kurva Infiltrasi Lahan Kering
Blok 1
Kurva Infiltrasi Lahan Kering
Blok 2
4.3.
Pembahasan
Dari hasil-hasil diatas dapat
dijelaskan bahwa pada (Tabel) 1 karakteristik fisik tanah pada lahan sawah (LS)
bertekstur liat dengan berat isi (BI) 0,05, berat volume (BV), memiliki pori-pori kecil sehingga air dapat bergerak lebih lambat yang dapat menyebabkan laju
infiltrasi lambat.
Sedangkan pada lahan kering (LK) bertekstur lempung berdebu dengan berat isi
(BI) 0,04, berat volume (BV), memiliki pori-pori yang besar sehingga air
bergerak lebih cepat yang
dapat menyebabkan laju infiltrasi cepat.
Pada (Tabel) 2 Hasil rata-rata
parameter pengukuran laju infiltrasi pada titik sampel lahan sawah (LS) dengan
fo 705,5 mm/jam, fc 231,5, t 4,5 jam, dan K 1,525, sedangkan pada titik sampel
lahan kering (LK) dengan fo 168,5 mm/jam, fc 157,5, t 138,15 jam, K 3,83.
Pada (Tabel) 3 Rata-rata hasil
pengukuran lapangan dan pendugaan laju infiltrasi menggunakan model Horton pada
titik sampel lahan sawah (LS) berat laju infiltrasi pada observasi lapangan
705,5 cm/jam, sedangkan pada model Horton 743,25 cm/jam, volume 594,255 cm3,
pada fase 1 sehingga klasifikasi laju infiltrasinya cepat. Pada titik sampel
lahan kering (LK) berat laju infiltrasi pada observasi lapangan 169,5 cm/jam,
sedangkan pada model Horton 230,13 cm/jam, volume 186,44 cm3, pada fase 2
sehingga klasifikasi laju infiltrasinya sangat cepat.
Pada kurva infiltrasi lahan basah
blok 1 laju infiltrasi dan waktu mencapai infiltrasi konstan yaitu pada K4
dengan f observasi 4,00 mm/jam dan model Horton 7,52 mm/jam, sedangkan pada
blok 2 lahan basah laju infiltrasi dan waktu mencapai infiltrasi konstan sama
yaitu pada K4 dengan f observasi 2,00 mm/jam dan model Horton 6,39 mm/jam. Pada
blok 1 lahan kering laju infiltrasi dan waktu mencapai infiltrasi konstan yaitu
pada K4 dengan f observasi 119,00 mm/jam dan model Horton 115,52 mm/jam,
sedangkan pada blok 2 lahan kering laju infiltrasi dan waktu mencapai
infiltrasi konstan sama yaitu pada ulangan ke 4 (K4) dengan f observasi 90,00
mm/jam dan model Horton 95,83 mm/jam.
Faktor
yang mempengaruhi infiltrasi adalah sifat fisik tanah. Sifat fisik tanah yang
diamati pada penelitian ini adalah yang berpengaruh terhadap laju infiltrasi
yaitu tekstur tanah, struktur tanah, Bulk density, dan total ruang pori
tanah. Tabel 1 menunjukan bahwa tanah mempunyai tekstur lempung
berdebu, lempung berdebu
memiliki pori-pori yang besar
sehingga air dapat bergerak cepat
yang dapat menyebabkan laju infiltrasi sangat cepat, sedangkan
tanah bertekstur liat memiliki pori-pori
kecil sehingga air
dapat bergerak lambat
yang dapat menyebabkan laju infiltrasi agak lambat.
Suryatmojo (2006) menyatakan bahwa setiap jenis tanah mempunyai kemampuan untuk
berinfiltrasi yang berbeda-beda, yang bervariasi dari yang sangat tinggi sampai
rendah. Jenis tanah berpasir umumnya cenderung
mempunyai laju infiltrasi yang tinggi akan tetapi liat tanah sebaliknya
mempunyai laju infiltrasi yang rendah.
BAB
V
KESIMPULAN
5.1. Kesimpulan
Dari
penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa lahan yang memiliki laju
infiltrasi paling cepat adalah lahan kering, hal ini dipengaruhi oleh beberapa
hal antara lain:
Ø
Struktur
tanah
Ø
Tekstur
tanah
Ø
Bahan
organik tanah
Ø
Vegetasi
5.2. Saran
Dalam menyelesaikan laporan
infiltrasi ini, kita harus mempunyai data serta bahan yang lengkap sehingga
bisa mempermudah kita agar lebih cepat menyelesaikan laporan ini, dan kepada co
as agar memberikan penjelasan yang tepat agar kita bisa memahami dengan cepat
pula.
0 komentar:
Posting Komentar