Selasa, 15 Juli 2014

Laporan Praktikum Acara 3(INFILTRASI)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asdak dan Salim (2006) menyatakan bahwa Air merupakan kebutuhan pokok bagi makhluk hidup, Untuk menjamin keberlangsungan kehidupan di bumi, makhluk hidup baik manusia, hewan dan tumbuhan mutlak membutuhkan air sebagai kebutuhan primernya. Tidak ada kehidupan makhluk yang tidak terkait langsung atau tidak langsung dengan sumberdaya air. Tanpa air, mikroorganisme yang mendekomposisi bahan organik tidak akan pernah ada, demikian pula tidak akan pernah ada siklus materi dan energi, dengan demikian tanpa air tidak akan pernah ada kompleksitas ekosistem. Sehingga dapat dipastikan bahwa jika tidak ada air, maka kehidupan diatas permukaan bumi ini akan terancam kepunahan.
Dewasa ini ketersediaan air menjadi permasalahan, Dewan Air Dunia (WWC) menyebutkan bahwa 20 tahun mendatang jumlah penduduk dunia akan meningkat dengan pertambahan penduduk sebesar 1,2 miliar jiwa, sedangkan persediaan air diprediksikan justru akan menurun hingga sepertiga dari sekarang. Artinya, dengan jumlah penduduk dunia yang semakin bertambah, mungkin hanya akan dapat menikmati 30% suplai air dari yang dapat mereka nikmati sekarang (Rusdiana dan Ghufrona, 2011).
Keterangan tersebut dilengkapi dengan penelitian Waryono (2003), yang
mengungkapkan bahwa hampir semua sungai di Jawa (diantaranya Sungai Ciujung, Ciliwung, Cimanuk, Citanduy, Serayu, Progo, Bengawan Solo, dan Brantas) kering pada musim kemarau. Namun sebaliknya pada musim penghujan terjadi kelebihan air yang mengalir, bahkan banjir melebihi kemampuan sungai dalam menampung aliran, khususnya di muara-muara sungai.
Penelusuran terhadap peran fungsi kawasan resapan menjadi sangat strategis untuk diungkap dan diteliti lebih jauh dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya air secara terpadu dan berkelanjutan. Sehingga perlu adanya upaya konservasi air dengan melakukan upaya pengaturan tata air. Salah satu upaya konservasi air adalah dengan mengoptimalkan infiltrasi air hujan ke dalam tanah (Waryono, 2003).
Infiltrasi dapat diartikan sebagai proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk kedalam tanah. Perkolasi merupakan proses kelanjutan aliran air yang berasal dari infiltrasi ke tanah yang lebih dalam. Kebalikan dari infiltrasi adalah rembesan (speege). Laju maksimal gerakan air masuk kedalam tanah dinamakan kapasitas infiltrasi. Kapasitas infiltrasi terjadi ketika intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam menyerap kelembaban tanah. Sebaliknya apabila intensitas hujan lebih kecil dari pada kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan (Waryono, 2003).
Salah satu upaya untuk melakukan konservasi air adalah, dengan mengatur pemakaian sumber daya air terlebih khusus bagi dunia pertanian baik di lahan sawah ataupun lahan kering. Untuk lahan  sawah, banyak dijumpai banyak pemborosan air yang dilakukan oleh petani yang tidak menyadari bahwa perbuatan mereka akan berdampak pada menurunnya persediaan air di masa depan (Waryono, 2003).
1.2       Tujuan Praktikum
1.         Untuk menentukan nilai parameter infiltrasi : fo, fc. dan K
2.         Unuk menetapkan persamaan penduga dan membuat kurva infiltrasi model horton.
3.         Untuk menghitung volume infiltrasi total selama waktu (t) tertentu.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Siklus Hidrologi
Kodoati dan Rustam (2008) menyatakan bahwa siklus hidrologi adalah pergerakan air di bumi berupa cair, gas, dan padat baik proses di atmosfir, tanah dan badan-badan airyang tidak terputus melalui proses kondensasi, presipitasi, evaporasi dan transpirasi.Pemanasan air samudera oleh sinar matahari merupakan kunci proses siklus hidrologi tersebut dapat berjalan secara kontinu. Air berevaporasi, kemudian jatuh sebagai presipitasi dalambentuk air, es,atau kabut. Pada perjalanan menuju bumi beberapa presipitasi dapat berevaporasi kembali ke atas atau langsung jatuh yang kemudian diintersepsi oleh tanaman sebelum mencapai tanah. Setelah mencapai tanah, siklus hidrologi terus bergerak secara kontinu dalam tiga cara  yang berbeda:
·         Evaporasi / transpirasi Air yang ada di laut, di daratan, di sungai, di tanaman, dsb. kemudian akan menguap ke angkasa (atmosfer) dan kemudian akan menjadi awan. Pada keadaan jenuh uap air (awan) itu akan menjadi bintik-bintik air yang selanjutnya akan turun (precipitation) dalam bentuk hujan, salju, es.
·         Infiltrasi / Perkolasi ke dalam tanah Air bergerak ke dalam tanah melalui celah-celah dan pori-pori tanah dan batuan menuju muka air tanah. Air dapat bergerak akibat aksi kapiler atau air dapat bergerak secara vertikal atau horizontal dibawah permukaan tanah hingga air tersebut memasuki kembali sistem air permukaan.
·         Air Permukaan - Air bergerak diatas permukaan tanah dekat dengan aliran utama dan danau; makin landai lahan dan makin sedikit pori-pori tanah, maka aliran permukaan semakin besar. Aliran permukaan tanah dapat dilihat biasanya pada daerah urban. Sungai-sungai bergabung satu sama lain dan membentuk sungai utama yang membawa seluruh air permukaan disekitar daerah aliran sungai menuju laut.
Gambar 1. Siklus Hidrologi

2.2 Presipitasi
Presipitasi adalah curahan atau jatuhnya air dari atmosfer ke permukaan bumi dan laut dalam bentuk yang berbeda, yaitu curah hujan di daerah tropis dan curah hujan serta salju di daerah beriklim sedang (Siswanto, 2003).
Presipitasi adalah peristiwa klimatik yang bersifat alamiah yaitu perubahan bentuk uap air di atmosfer menjadi curah hujan sebagai akibat proses kondensasi. Presipitasi merupakan factor utama yang mengendalikan proses daur hidrologi di suatu wilayah DAS ( merupakan elemen utama yang perlu diketahui medasari pemahaman tentang kelembaban tanah, proses resapan air tanah dan debit aliran ) (Sudarsono, 2006).
Presipitasi mempunyai banyak karakteristik yang dapat mempengaruhi produk air suatu hasil perencanaan pengelolaan DAS. Besar kecilnya presipitasi, waktu berlangsungnya hujan dan ukuran serta intensitas hujan yang terjadi baik secara sendiri-sendiri atau merupakan kombinasi akan mempengaruhi kegiatan pembangunan ( proyek ). Jumlah presipitasi selalu dinyatakan dengan dalamnya presipitasi (mm). salju, es, hujan dan lain-lain juga dinyatakan dengan dalamnya (seperti hujan) sesudah di cairkan (Sudarsono, 2006).
2.3.      Infiltrasi
Infiltrasi adalah proses aliran air (umumnya berasal dari curah hujan) masuk kedalam tanah. Perkolasi merupakan proses kelanjutan aliran air yang berasal dari infiltrasi ke tanah yang lebih dalam. Kebalikan dari infiltrasi adalah rembesan (speege). Laju maksimal gerakan air masuk kedalam tanah dinamakan kapasitas infiltrasi. Kapasitas infiltrasi terjadi ketika intensitas hujan melebihi kemampuan tanah dalam menyerap kelembaban tanah. Sebaliknya apabila intensitas hujan lebih kecil dari pada kapasitas infiltrasi, maka laju infiltrasi sama dengan laju curah hujan (Waryono, 2003).
            infiltrasi merupakan aliran air ke dalam tanah melalui permukaan tanah. Didalam infiltrasi dikenal dua istilah yaitu kapasitas infiltrasi dan laju infiltrasi, yang dinyatakan dalam mm/jam (Saribun, 2007).
           




Hanafiah (2005) menyatakan bahwa klasifikasi laju infiltrasi di bagi menjadi beberapa bagian, sebagai berikut:
Tabel 6. Kriteria laju infiltrasi konstan

Kls
Kategori
Infiltrasi
Laju
Infiltrasi
Konstan
(mm/jam)
Keterangan
1

2

3

4

5

6

7
Sangat lambat

Lambat

Agak lambat

Sedang

Agak cepat

Cepat

Sangat cepat
<1

1-5

5-20

20-60

60-125

125-250

> 250
Non
irigasi
Perlakuan
khusus

2.4       Faktor Yang Mempengaruhi Infiltrasi
Suryatmojo (2006) menjelaskan bahwa infiltrasi di pengaruhi olehbeberapa hal, antara lain:
·         Tekstur Tanah

Tekstur tanah menunjukkan perbandingan butir-butir pasir ( 2 mm–50 µ), debu (50-2µ), dan liat (<2µ) di dalam tanah. Kelas tekstur tanah dibagi dalam 12 kelas yaitu: pasir, pasir berlempung, lempung berpasir, lempung, lempung berdebu, debu, lempung liat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu, liat berpasir, liat berdebu, liat.
Berdasarkan ukurannya, bahan padatan tanah digolongkan menjadi tiga partikel atau juga disebut sebagai separat penyusun tanah yaitu pasir, debu, dan liat. Tanah berpasir yaitu tanah dengan kandungan pasir > 70 %, porositasnya rendah (< 40 %), sebagian besar ruang pori berukuran besar, sehingga aerasenya baik, daya hantar air cepat tetapi kemampuan menahan air dan zat hara rendah. Tanah disebut bertekstur liat jika kandungan liatnya > 35 %, porositasnya relatif tinggi (60 %), tetapi sebagian besar merupakan pori    berukuran kecil, daya hantar air sangat lambat dan sirkulasi udara kurang lancar. Pada tekstur tanah pasir , laju infiltrasi akan sangat cepat, pada tekstur lempung laju infiltrasi adalah sedang hingga cepat dan pada tekstur liat laju infiltrasi tanah akan lambat.
·         Struktur Tanah
Struktur tanah adalah susunan agregat-agregat primer tanah secara alami menjadi bentuk tertentu yang dibatasi oleh bidang-bidang. Struktur tanah dapat dinilai dari stabilitas agregat, kerapatan lindak, dan porositas tanah. Struktur tanah ditentukan oleh tiga group yaitu mineral-mineral liat, oksida-oksida besi, dan  mangan, serta bahan organik koloidal gum yang dihasilkan oleh jasad renik.
Bentuk struktur tanah yang membulat (granular dan remah) menghasilkan tanah dengan daya serap tinggi sehingga air mudah meresap kedalam tanah. Struktur tanah remah (tidak mantap), sangat mudah hancur oleh pukulan air hujan menjadi butir-butir halus, sehingga menutup pori-pori tanah. Akibatnya air infiltrasi terhambat dan aliran permukaan meningkat.
·         Berat Isi (Bulk Density)

Semakin tinggi kepadatan tanah, maka infiltrasi akan semakin kecil. Kepadatan tanah ini dapat disebabkan oleh adanya pengaruh benturan-benturan hujan pada permukaan tanah. Tanah yang ditutupi oleh tanaman biasanya mempunyai laju infiltrasi lebih besar dari pada permukaan tanah yang terbuka. Hail ini disebabkan oleh perakaran tanaman yang menyebabkan porositas tanah lebih tinggi, sehingga air lebih banyak dan meningkat pada permukaan yang tertutupi oleh vegetasi, dapat menyerap energi tumbuk hujan dan sehingga mampu mempertahankan laju infiltrasi yang tinggi.
Kerapatan isi adalah berat persatuan volume tanah kering oven, biasanya ditetapkan sebagai g / m3. Contoh tanah yang ditetapkan untuk menentukan beratjenis palsu harus diambil secara hati-hati dari dalam tanah, tidak boleh merusak struktur asli tanah. Terganggunya struktur tanah dapat mempengaruhi pori-por tanah, demikian pula berat persatuan volume. Empat atau lebih bongkah (gumpal) tanah biasanya diambil dari tiap horizon untuk memperoleh nilai rata-rata.
·         Bahan Organik Tanah
Bahan organik tanah merupakan penimbunan, terdiri sebagian dari sisa dan sebagian dari pembentukan dari sisa tumbuahan dan hewan. Bahan organik yang dikandung oleh tanah hanya sedikit, kurang lebih hanya 3 % sampai 5 % dari berat tanah dari topsoil tanah mineral yang mewakili. Bahan organik berperan sebagai pembentuk butir (granulator) dari butir-butir mineral yang menyebabkan. Terjadinya keadaan gembur pada tanah produktif. Bahan ini biasanya berwarna hitam atau coklat bersifat koloida. Daya menahan air dan ion-ion hara jauh lebih besar dari pada lempung.
2.5 Lahan Kering
Lahan kering adalah hamparan lahan yang didayagunakan tanpa penggenangan air, baik secara permanen maupun musiman dengan sumber air berupa hujan atau air irigasi. Tipologi lahan ini dapat dijumpai dari dataran rendah (0-700 m dpl) hingga dataran tinggi (> 700m dpl). Dari pengertian diatas, maka jenis penggunaan lahan yang termasuk dalam kelompok lahan kering mencakup: lahan tadah hujan, tegalan, lading, kebun campuran, perkebunan, hutan, semak, padang rumput, dan padang alang-alang (Suwardji, 2003).
Lahan kering mempunyai potensi yang cukup luas untuk dikembangkan, dengan luas yang mencapai 52,5 juta ha, untuk seluruh indonesia maka pengembangan sangat perlu dilakukan. Penggunaan lahan untuk lahan kering berturut adalah sebagai berikut: hutan rakyat, perkebunan, tegalan, tanah yang sedang tidak diusahakan, ladang dan padang rumput (Soemarno, 2011).
Pemanfaatan lahan kering untuk kepentingan pembangunan daerah ternyata banyak menghadapi masalah dan kendala. Masalah yang utama adalah masalah fisik lahan kering banyak yang telah rusak atau mempunyai potensi yang cukup besar untuk menjadi rusak. Sehingga paket teknologi yang berorientasi pada perlindungan lahan kering sangat diperlukan. Kekurangan air pada saat musim kemarau, kahat unsur hara serta keadaan tanah yang peka terhadap erosi merupakan kendala lingkungan yang paling dominan di kawasan lahan kering (Soemarno, 2011).
2.6 Lahan Sawah
Lahan basah merupakan areal transisi antara lahan kering dan wilayah perairan sepertidanau, rawa, paya, sungai dan pantai. Tidak semua lahan basah yangselalu berair atau tergenang sepanjang tahun. Peran yang dari lahan basah dalam pengelolaan DAS sangat penting yakni, melindungi kualitas air dan kuantitasnya dalamjumlah yang cukup. Perannya dilihat dari kuantitas yang cukup danseimbang yaitu, wetlands dapat diibaratkan sebagai spoon (busa)raksasa, yakni pada musim hujan, dia akan menyerap air dan jika terjadikelebihan maka air tersebut akan dialirkan menjadi air tanah (Groundwater). Pada musim kering air dari wetlands akan dikeluarkan untukdimanfaatkan (Niko, 2012).
Priambodo (2014) ada empat manfaat dari lahan basah  dalam rangka pengelolaan DAS yaitu ;
ü  Memperbaiki kualitas air, dengan cara menahan unsur hara,sampah-sampah organik dan kiriman endapan yang terjadi akibat run off.
ü  Mengurangi pengaruh buruk banjir, yang langsung ke muaradengan menahan air tersebut dan melepaskannya pada musim kering.
ü  Melindungi daerah-daerah pinggiran atau pesisir dari kemungkinanerosi.
ü  Memulihkan kembali persediaan air tanah yang berpotensikekurangan air pada musim kering.
2.7.      Model Horton
Pada metode infiltrasi Horton, yang pertama kali dilakukan adalah menentukkan parameter-parameternya. Metode infiltrasi Horton mempunyai tiga paremeter yang menentukan proses infiltrasi dalam tanah yaitu parameter K, infiltrasi awal (fo) dan infiltrasi konstan (fc). Nilai parameter fc ini bisa diprediksi dari nilai Konduktivitas Hidrolik Jenuh. Setelah diketahuiparameter yang digunakan dalam metode infiltrasi Horton, maka laju infiltrasi untuk berbagai waktu t dapat dihitung dengan menggunakan persamaan :
f  =  fc + (fo-fc)
Untuk mengetahui apakah metode infiltrasi yang digunakan benar-benarmewakili daerah yang diteliti, maka dicari persentase penyimpangan antara laju infiltrasi perhitungan metode infiltrasi dengan hasil pengukuran infiltrasi di lapangan dan dilanjutkan dengan uji t (Wirosoedarmo, 2008).

2.8. Tanaman Padi Dan Tanaman Ubi Kayu
2.8.1      Tanaman padi
          Susanti (2010) menyatakan bahwa Padi termasuk genus Oryza L yang meliputi lebih kurang 25 spesies, tersebar didaerah tropik dan daerah sub tropik seperti Asia, Afrika, Amerika dan Australia. Menurut Chevalier dan Neguier padi berasal dari dua benua Oryza fatua Koenig dan Oryza sativa L berasal dari benua Asia, sedangkan jenis padi lainya yaitu Oryza stapfii Roschev dan Oryza glaberima Steund berasal dari Afrika barat.     Padi yang ada sekarang ini merupakan persilangan antara Oryza officinalis dan Oryza sativa f spontania. Di Indonesia pada mulanya tanaman padi diusahakan didaerah tanah kering dengan sistim  ladang, akhirnya orang berusaha memantapkan basil usahanya dengan cara mengairi daerah yang curah hujannya kurang. Tanaman padi yang dapat tumbuh dengan baik didaerah tropis ialah Indica, sedangkan Japonica banyak diusakan didaerah sub tropika. Adapun Klasifikasi Tanaman Padi adalah sebagai berikut:
Kingdom          : Plantae (Tumbuhan)
Sub kingdom   : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Divisi               : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Sub Divisi        : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Kelas               : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas        : Commelinidae
Ordo                : Poales
Famili              :  Gramineae (suku rumput-rumputan)
Spesies           : Oryza sativa L.
2.8.2 Tanaman Ubi Kayu
Tanaman singkong merupakan tanaman yang memerlukan Curah hujan yang sesuai,  curah hujan yang sesuai untuk tanaman ketela pohon antara 1.500-2.500 mm/tahun. Suhu udara minimal bagi tumbuhnya ketela kohon sekitar 10O C. Bila suhunya di bawah 10O C menyebabkan pertumbuhan tanaman sedikit terhambat, menjadi kerdil karena pertumbuhan bunga yang kurang sempurna. Kelembaban udara optimal untuk tanaman ketela pohon antara 60-65%. Sinar matahari yang dibutuhkan bagi tanaman ketela pohon sekitar 10 jam/hari terutama untuk kesuburan daun dan perkembangan umbinya (Susanti, 2010).
Tanah yang paling sesuai untuk ketela pohon adalah tanah yang berstruktur remah, gembur, tidak terlalu liat dan tidak terlalu poros serta kaya bahan organik. Tanah dengan struktur remah mempunyai tata udara yang baik, unsur hara lebih mudah tersedia dan mudah diolah. Untuk pertumbuhan tanaman ketela pohon yang lebih baik, tanah harus subur dan kaya bahan organik baik unsur makro maupun mikronya. Jenis tanah yang sesuai untuk tanaman ketela pohon adalah jenis aluvial latosol, podsolik merah kuning, mediteran, grumosol dan andosol. Derajat keasaman (pH) tanah yang sesuai untuk budidaya ketela pohon berkisar antara 4,5-8,0 dengan pH ideal 5,8. Pada umumnya tanah di Indonesia ber-pH rendah (asam), yaitu berkisar 4,0-5,5, sehingga seringkali dikatakan cukup netral bagi suburnya tanaman ketela pohon (Susanti, 2010)..














BAB III
METEDOLOGI PRAKTIKUM
3.1.     Waktu Dan Tempat
Praktikum Infiltrasi  menurut model Horton ini telah dilaksanakan pada hari sabtu dan Minggu tanggal 14-15 Mei 2014 di desa Krato dan Desa Pelat Kecamatan Untir Iwis, Kabupaten Sumbawa.
3.2.     Alat Dan Bahan
Ø   Alat
ü   Double ring infiltrometer
ü   Alat pengukur waktu/ stopwatch
ü   Alat pengukur tinggi/meteran
ü   Buku
ü   Polpen
ü   Kayu
Ø   Bahan
ü   Air
ü   Tanah
3.3.        Metode Pengambilan Sampel
Skema cincin infiltrometer yang terpasang dengan prosedur pemasangannya menikuti langkah-langkah berikut :
1.    Letakkan salh satu cincin dengan ujung runcing dibagian bawah dan pastikan penampang cincin pada level datar.
2.    Pasang piringan tutup diatas cincin dan pastikan tepat di atas cincin. Pukul tutup cincin dengan martil sampai kedalaman tertentu sehingga dapat mencengah kebocoran air ke luar cincin. Kedalaman sekitar 15 cm umumnya dianggap cukup atau sampai air tidak dapat bocor. Gunakan pukulan secukupnya untuk menghindari pecahnya permukaan tanah. Jika cincin sudah menancap, lepaskan piringan tutup.
3.    Letakkan cincin silinder lainnya secara tepat pada pusat yang sama dengan cincin pertama, kemudian lakukan seperti langka 2.
4.    Usahakan cincin silinder tetap tegak dengan level penampang datar. Jika setelah ditancapkan keadaan cincin miring, cincin yang telah terpasang cabut dari tanah. Pindahkan ke tempat sekitarnya dan ulangi lanhkah-langkah pemasangannya.
5.    Jika setelah ditancapkan cincin infiltrometer berubah bentuk, cabut cincin infiltrometer dari tanah, lakukan kalibrasi, dan ulangi langkah-langkah pemasangannya.
6.    Setelah pengukuran selesai keluarkan cincin dari tanah dengan memukul bagian samping secara perlahan dan menggali sekeliling cincin dengan sekop atau linggis.

3.3.1.    Metode Pengukuran Infiltrasi (Double Ring Infiltrometer)
Ø  Pengukuran Volume
Pengukuran laju infiltrasi berdasarkan volume air dilakukan dengan mengukur volume air yang ditambahkan tiap selang waktu. Pengukuran volume dapat dilakukan menggunakan gelas ukur, tabung mariotte, atau silinder trasparan berskala. Pengukuran laju infiltrasi berdasarkan volume air mengikuti langkah-langkah berikut :
1.    Catat posisi waktu pada saat mulai pengukuran pada t = 0, dan isikan pada kolom 1 formulir pengukuran infiltrasi cincin ganda.
2.    Ukur volume air yang ditambahkan pada cincin dalam untuk menjaga tinggi muka air pada tiap selang waktu. Catat pada formulir pengukuran kolom ke 4.
3.    Ukur volume air yang ditambahkan pada ruang antar cincin untuk menjaga tinggi muka air pada tiap selang waktu. Catat pada formulir pengukuran kolom ke 5.
4.    Catat waktu sejak mulai pengukuran (t = 0) pada formulir pengukuran kolom ke 2, dan beda waktu antar pengukuran pada kolom 3. Selang waktu ditentukan, umumnya tiap satu menit pada 10 menit pertama, tiap 2 menit pada menit ke 10 sampai dengan menit ke 30, tiap 5 menit sampai dengan 10 menit pada menit ke 30 sampai dengan menit 60. Selanjutnya, tiap 15 sampai dengan 30 menit sampai diperoleh laju yang relatif konstan. Selang waktu ditentukan juga berdasarkan laju infiltrasi yang terukur atau berdasarka pengalaman lapangan pelaksana pengukuran.
5.    Bagian atas cincin ditutup untuk menghindari penguapan selama selang pengukuran.
6.    Hitung nilai f dari data volume air yang ditambahkan pada cincin infiltrometer tiap selang waktu pengukuran menjadi laju infiltrasi dengan persamaan.
f =                                                     (1)
dengan :
f                 adalah laju infiltrasi (cm/jam)
            adalah volume air yang ditambahkan pada cincin infiltrometer untuk menjaga muka air tiap selang waktu (cm2)
Ac              adalah luas bidang cincin dalam satu bidang antar cincin (cm2)
                    adalah selang waktu pengukuran (menit)
7.    Catat hasil penghitungan laju infiltrasi dari cincin dalam pada formulir pengukuran kolom 8 dan laju infiltrasi dari ruang antar cincin pada formulir pengukuran kolom 9.
8.    Plot pada kertas grafik antar t dari formulir pengukuran kolom 2 sebagai sumbu x dan laju infiltrasi dari formulir pengukuran kolom 8 dan kolom 9 sebagai sumbu y.

3.3.2.    Metode Pengambilan Contoh Tanah
Pengambilan contoh tanah dimaksud untuk memperoleh data karakteristik tanah yang tidak dapat diperoleh langsung dari pengamatan lapangan.
3.3.2.1  Pengambilan Contoh Tanah Utuh
Contoh Tanah Utuh (undisturbed soil sample) untuk penetapan bobot isi (bulk density), susunan pori tanah, pF, dan permeabilitas tanah.
Cara kerja dari pengambilan contoh tanah utuh yaitu :
1.    Ratakan dan bersihkan lapisan permikaan tanah yang akan diambil contoh tanahnya.
2.    Kemudian cangkul tanah tesebut dengan menggunakan cangkul, biarkan tanah hasil cangkulan dalam bentuk bongkahan yang utuh.
3.    Ambillah bongkahan yang masih utuh, kemudian bersihkan dengan menggunaka kuas.
4.    Bongkahan yang telah dibersihkan selanjutnya dimasukkan kedalam kantong plastik dan ikat kantong plastik menggunakan karet tali.



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1.        Tekstur dan Struktur Tanah
Tabel 1. Hasil analisis tekstur tanah
Titik Sampel
Persentase
Tekstur
Berat Isi
Pasir
Debu
Liat
LS 1
15 %
25%
70%
Liat
0,04
LS 2
25%
10%
65%
LK 1
15%
60%
25%
Lempung Berdebu
0,05
LS 2
25%
75%
10%

Tekstur tanah yang menjadi sampel pada lahan sawah dan lahan kering memiliki beberapa perbedaan, pada lahan sawak bertekstur liat dengan proporsi 15% pasir, 25% debu dan 70% liat untuk titik sampel pertama. Untuk titik sampel kedua pada lahan sawah memiliki proporsi 25% pasir, 10% debu dan 65% liat.
Untuk contoh tanah pada lahan kering memiliki tekstur lempung berdebu,  pada titik sampel pertama memiliki proporsi 15% pasir, 60% debu dan 25% liat dan pada titik sampel kedua memiliki proporsi 25% pasir, 65% debu dan 10% liat. Untuk nilai berat isi masing-masing lahan adalah 0,04 untuk contoh tanah lahan sawah dan 0,05 pada lahan kering.
Struktur tanah yang dimiliki oleh 2 sampel sangat berbeda, pada lahan sawah memiliki struktur Liat memiliki pori-pori yang besar sehingga air dapat bergerak lebih cepat yang dapat menyebabkan laju infiltrasi cepat. Sedangkan pada lahan kering memiliki struktur Lempung berdebu memiliki pori-pori yang kecil sehingga air bergerak lebih lambat yang dapat menyebabkan laju infiltrasi lambat.
4.2  Laju infiltrasi
Tabel 2. Rata-Rata Parameter Pengukuran Laju Infiltrasi
Titik Sampel
Parameter
Fo
Fc
T
K
LS
168,5
157,5
138,15
3,83
LK
705,5
231,5
4,5
1,525

Tabel 3. Rata—rata pengukuran lapangan dan pendugaan laju infiltrasi menggunakan model Horton.
Titik Sampel
Besar laju infiltrasi (cm/jam)
Volume (cm3)
Klasifikasi infiltrasi
Observasi lapangan
Model horton


LS
169,5
230,13
186,44
Cepat
LK
705,5
743,25
594,255
Sangat Cepat
Berdasarkan hasil praktikum diatas (Tabel 2) maka nilai rata-rata parameter pengukuran laju infiltrasi pada titik sampel lahan sawah (LS) dengan fo 168,5 mm/jam, fc 157,5, t 138,15 jam, K 3,83, sedangkan pada titik sampel lahan kering (LK) dengan fo 705,5 mm/jam, fc 231,5, t 4,5 jam, dan K 1,525.
Berdasarkan hasil praktikum diatas (Tabel 3) maka nilai Rata-rata hasil pengukuran lapangan dan pendugaan laju infiltrasi menggunakan model Horton pada titik sampel lahan sawah (LS) berat laju infiltrasi pada observasi lapangan 169,5 cm/jam, sedangkan pada model Horton 230,13 cm/jam, volume 186,44 cm3, pada fase 2 sehingga klasifikasi laju infiltrasinya lambat. Pada titik sampel lahan kering (LK) berat laju infiltrasi pada observasi lapangan 705,5 cm/jam, sedangkan pada model Horton 743,25 cm/jam, volume 594,255 cm3, pada fase 1 sehingga klasifikasi laju infiltrasinya cepat.
Perbedaan nilai laju infiltrasi yang terjadi disebabkan oleh beberapa hal, antara lain:
·         Berat isi
Berat isi diartikan sebagai kepadatan tanah, hal ini dapat menentukan laju infiltrasi yang terjadi, Nilai infiltrasi pada lahan sawah memiliki nilai yang lebih rendah daripada lahan kering karna beberapa perlakuan seperti pembajakan dan penggunaan pestisida pada lahan sawah dapat meningkatkan kepadatan tanah yang berdampak pada menurunnya nilai laju infiltrasi yang terjadi. Hal ini sesuai dengan pendapat Suryatmojo (2006) yang menyatakan bahwa berat isi dapat menentukan nilai laju infiltrasi.
·         Tekstur dan struktur tanah
Jika dilihat dari hasil pengamatan di lapangan, tekstur dan struktur pada lahan kering dan basah sangat berbeda. Pada lahan sawah memiliki tekstur lempung berdebu dengan pori-pori besar dan pada lahan sawah memiliki tekstur liat dengan pori-pori kecil. Hal ini dapat menentukan laju infiltrasi karna semakin besar pori-pori tanah maka akan semakin cepat laju infiltrasi yang terjadi. Hal ini di dukung oleh pendapat Suryatmojo (2006) yang menyatakan bahwa tekstur dan struktur tanah dapat mempengaruhi laju infiltrasi.
Struktur tanah yang dimiliki oleh 2 sampel sangat berbeda, pada lahan sawah memiliki struktur Liat memiliki pori-pori yang besar sehingga air dapat bergerak lebih cepat yang dapat menyebabkan laju infiltrasi cepat. Sedangkan pada lahan kering memiliki struktur Lempung berdebu memiliki pori-pori yang kecil sehingga air bergerak lebih lambat yang dapat menyebabkan laju infiltrasi lambat.

4.2.        Kurva Infiltrasi
Kurva kafasitas infiltrasi merupakan kurva hubungan antara infiltrability dan waktu. Infiltrabilitas tunak (stedy state) tercapai saat infiltrasi konstan (fc) menunjukkan banyaknya air yang dapat terinfiltrasi ke dalam tanah per satuan waktu.
Kurva Infiltrasi Lahan Basah Blok 1


Kurva Infiltrasi Lahan Basah Blok 2

Kurva Infiltrasi Lahan Kering Blok 1

Kurva Infiltrasi Lahan Kering Blok 2

4.3.        Pembahasan
Dari hasil-hasil diatas dapat dijelaskan bahwa pada (Tabel) 1 karakteristik fisik tanah pada lahan sawah (LS) bertekstur liat dengan berat isi (BI) 0,05, berat volume (BV), memiliki pori-pori kecil sehingga air dapat bergerak lebih lambat yang dapat menyebabkan laju infiltrasi lambat. Sedangkan pada lahan kering (LK) bertekstur lempung berdebu dengan berat isi (BI) 0,04, berat volume (BV), memiliki pori-pori yang besar sehingga air bergerak lebih cepat yang dapat menyebabkan laju infiltrasi cepat.
Pada (Tabel) 2 Hasil rata-rata parameter pengukuran laju infiltrasi pada titik sampel lahan sawah (LS) dengan fo 705,5 mm/jam, fc 231,5, t 4,5 jam, dan K 1,525, sedangkan pada titik sampel lahan kering (LK) dengan fo 168,5 mm/jam, fc 157,5, t 138,15 jam, K 3,83.
Pada (Tabel) 3 Rata-rata hasil pengukuran lapangan dan pendugaan laju infiltrasi menggunakan model Horton pada titik sampel lahan sawah (LS) berat laju infiltrasi pada observasi lapangan 705,5 cm/jam, sedangkan pada model Horton 743,25 cm/jam, volume 594,255 cm3, pada fase 1 sehingga klasifikasi laju infiltrasinya cepat. Pada titik sampel lahan kering (LK) berat laju infiltrasi pada observasi lapangan 169,5 cm/jam, sedangkan pada model Horton 230,13 cm/jam, volume 186,44 cm3, pada fase 2 sehingga klasifikasi laju infiltrasinya sangat cepat.
Pada kurva infiltrasi lahan basah blok 1 laju infiltrasi dan waktu mencapai infiltrasi konstan yaitu pada K4 dengan f observasi 4,00 mm/jam dan model Horton 7,52 mm/jam, sedangkan pada blok 2 lahan basah laju infiltrasi dan waktu mencapai infiltrasi konstan sama yaitu pada K4 dengan f observasi 2,00 mm/jam dan model Horton 6,39 mm/jam. Pada blok 1 lahan kering laju infiltrasi dan waktu mencapai infiltrasi konstan yaitu pada K4 dengan f observasi 119,00 mm/jam dan model Horton 115,52 mm/jam, sedangkan pada blok 2 lahan kering laju infiltrasi dan waktu mencapai infiltrasi konstan sama yaitu pada ulangan ke 4 (K4) dengan f observasi 90,00 mm/jam dan model Horton 95,83 mm/jam.
Faktor yang mempengaruhi infiltrasi adalah sifat fisik tanah. Sifat fisik tanah yang diamati pada penelitian ini adalah yang berpengaruh terhadap laju infiltrasi yaitu tekstur tanah, struktur tanah, Bulk density, dan total ruang pori tanah. Tabel 1 menunjukan bahwa tanah mempunyai tekstur lempung berdebu, lempung berdebu memiliki pori-pori yang besar sehingga air dapat bergerak cepat yang dapat menyebabkan laju infiltrasi sangat cepat, sedangkan tanah bertekstur liat memiliki pori-pori kecil sehingga air dapat bergerak lambat yang dapat menyebabkan laju infiltrasi agak lambat.
Suryatmojo (2006) menyatakan bahwa setiap jenis tanah mempunyai kemampuan untuk berinfiltrasi yang berbeda-beda, yang bervariasi dari yang sangat tinggi sampai rendah. Jenis tanah berpasir umumnya cenderung mempunyai laju infiltrasi yang tinggi akan tetapi liat tanah sebaliknya mempunyai laju infiltrasi yang rendah.















BAB V
KESIMPULAN

5.1.    Kesimpulan
Dari penjelasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa lahan yang memiliki laju infiltrasi paling cepat adalah lahan kering, hal ini dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain:
Ø  Struktur tanah
Ø  Tekstur tanah
Ø  Bahan organik tanah
Ø  Vegetasi
5.2.      Saran
Dalam menyelesaikan laporan infiltrasi ini, kita harus mempunyai data serta bahan yang lengkap sehingga bisa mempermudah kita agar lebih cepat menyelesaikan laporan ini, dan kepada co as agar memberikan penjelasan yang tepat agar kita bisa memahami dengan cepat pula.








0 komentar:

Posting Komentar